Lelu

Kemarin sahabat baruku, namanya Lelu ikut bertandang di rumahku di Solo. Mahasiswi sastra Inggris yang sedang melanjutkan studinya di kampus biru. Kami memang baru satu setengah purnama berkenalan. Bahkan, dalam satu setengah purnama itu kami jarang bertemu. Frekuensi kami bertemu bisa dihitung dengan jari. Dia sosok orang yang sangat percaya dengan simbol dan pertanda. Bahwa semua yang terjadi pada setiap orang pasti ada maknanya. Ia bisa membaca karakter seseorang dari wajah dan tulisan tangannya. Sialnya, bacaannya selalu benar. Entah mengapa baru sekali bertemu, aku merasa sangat terhubung dengannya. Mungkin lantaran lelaki yang menabur cinta untuk eksistensi kami sama-sama keadaannya. Tak jarang pula aku mengalami cerita kepedihan yang hampir sama dengannya.

Aku dan Lelu selalu mentertawakan kepedihan. Semacam komedi dari sisi gelap kehidupan kami. Entahlah, menurut kami itu lucu. Kala aku di Bandung, aku pasti akan sangat merindukannya terutama logat bahasa Inggrisnya yang sangat British itu, sungguh benar-benar membuatku tertawa sampai sakit perut. Sepertinya dalam ruang kalbuku ada lubang puzzle yang hilang dan itu hanya bisa diisi olehnya. Aku menikmati beberapa waktu dengannya saat mendiskusikan karya sastra dari Dee hingga Paulo Coelho.


Dia benar-benar sosok perempuan yang tegas, kuat dan sungguh peka jika dibandingkan dengan aku. Kemarin kami makan di sebuah tempat di selatan kota Solo, kendil yang berisi air putih didepanku tak kusadari, padahal aku sangat haus. Toilet disampingku pun tak kusadari ada, padahal saat itu kami butuh toilet. Yah! Mungkin aku yang terlalu dungu. Aku tidak sepertinya yang melihat setiap symbol dan meyakini setiap pertandanya. Bagiku, setiap hal yang terjadi padaku selama ini terjadi begitu saja, tanpa alasan dan tak perlu ada benang merah dalam setiap rangkaiannya. Menurutku, mencari makna dari setiap hal yang terjadi dalam hidupku itu bisa membuat gila. Yaaah.. itulah Lelu.