Home » » Matinya Etika Tatap Muka

Matinya Etika Tatap Muka

Posted by Unknown
Traveller, Updated at: 01.09

Posted by Unknown on Senin, 17 Januari 2011

Bagiku jejaring sosial seperti facebook bak pedang bermata dua. Di satu sisi dia membangkitkan hubungan dengan orang-orang jauh yang seharusnya lama mati, di sisi lain aku seperti hidup di bola plastic dimana setiap orang bisa tahu tentangku, berdiskusi, komentar, menghujat dan menghakimi.

Belakangan ini, aku bersama empat sahabatku mengadakan satu jamuan di suatu tempat. Kami jarang bertemu. Kami duduk melingkar. Hal pertama yang terjadi diantara kami bukanlah percakapan yang ramai seperti dulu. Lima orang dengan muka tertunduk menatap ke layar ponsel masing-masing dengan jari-jari yang menari diatas keypad. Sungguh pemandangan yang aneh. Percakapan yang cair baru terjadi 15 menit setelah kami selesai menjalin affair dengan ponsel kami. Yah, mungkin jejaring sosial dunia maya merepresentasikan itu; semacam mendekatkan yang jauh dan menjauhkan yang dekat. Facebook telah jadi budaya massa terutama di Indonesia. Luruh sudah batas-batas geografis dan sosial di sini.

Pasca ditemukannya mesin cetak pada era Guttenberg di Jerman ratusan tahun lalu, kuasa di dunia ditentukan oleh informasi. Setelah bible pertama dipublikasikan lewat mesin cetak tersebut, ribuan buku-buku lain tersebar ke seluruh penjuru. Jika Karl Marx menandai abad modern dengan kuasa modal dan rasionalisasi, beberapa tahun setelahnya, Guttenberg menandainya dengan berkuasanya komoditas informasi. Setiap orang bisa bertukar informasi di jejaring-jejaring sosial maya, setiap orang bisa jadi wartawan. Bahkan, eksistensi media mainstream kini terancam lantaran jurnalisme warga atau yang biasa disebut citizen journalism kian berkembang. Sebab, makin banyak informasi yang masuk, makin banyak pula informasi yang jadi sampah. Termasuk pada jejaring sosial maya seperti facebook, tidak semua informasi yang di upload oleh teman-temanku akan berguna untukku, jadi sekiranya ada teman-teman yang sering memberi informasi sampah dan tak terlalu kukenal, dengan otomatis, aku remove dia dari daftar temanku. Ups! Sepeti halnya twitter, aku sempat mengikuti beberapa kicauan para artis ataupun tokoh politik dan ternyata toh banyak pembicaraan mereka yang tidak bermutu, akhirnya saya unfollow mereka. Tapi, sejauh ini twitter sungguh media yang efektif bagi penyebaran berita dan kreatifitas dalam 140 karakter.

Kini, makin banyak informasi sampah, masyarakat dituntut cerdas untuk menyaring setiap informasi yang diterimanya. Akibatnya, munculah media-media komunitas maya dimana kontennya ditentukan oleh kepentingan orang-orang yang bergabung disana. Kini, di era informasi, kekuatan ditentukan oleh siapa yang berkuasa atas informasi.

Berkembangnya jejaring sosial di dunia maya bukanlah tanpa konsekuensi. Dunia maya yang mana hanya bisa diakses dari computer, laptop atau ponsel pun punya konsekuensi bagi ketergantungan teknologi. Bagi orang-orang yang biasa menyelesaikan pekerjaannya dengan computer dan internet, akan sulit baginya untuk menyelesaikannya dengan manual. Di level materi, bentuk komunikasi tanpa-muka seperti facebook atau jejaring lainnya akan tak akan menyisakan apapun selain kurangnya afeksi psikologis. Jika banyak kritikus sosial belakangan banyak memaknai bahwa kala makin banyak orang menyandarkan hidupnya pada mesin-mesin cerdas maka saat itulah manusia-manusia berbondong-bondong memasuki dunia yang beku, tanpa makna, tanpa muka.

Share This Post :

0 komentar:

Posting Komentar

 
Copyright © 2015 Traveller. All Rights Reserved
Template Johny Wuss Responsive by Creating Website and CB Design