Abainya pembuat kebijakan terhadap satu isu dan kepentingan bukan berarti kegagalan pada kebijakan yang dibuatnya. Pengabaian ini dapat menjadi kekuatan bagi suksesnya kebijakan periode berikutnya.
Judul Buku : The Importance of Neglect in Policy-Making
Pengarang : Michiel S. De Vries
Penerbit : Palgrave Macmillan, New York
Kolasi : XV, 203 halaman
Perang dunia II pada dekade terakhir kolonialisme Belanda di Indonesia membawa sejumlah konsekuensi logis yang cukup signifikan bagi Belanda. Pendudukan Nazi Jerman di negeri kincir angin itu telah mengakibatkan kemiskinan pada titik klimaks. Kini, negeri yang dulu terpuruk itu menjadi salah satu negara dengan ekonomi paling kuat dengan peringkat terbesar ke tujuh untuk Produk Domestik Bruto (PDB) per kapita. Michiel S. De Vries, seorang professor Administrasi Publik pada Institute of Management Research, Radbound University Nijmegen, kemudian menyoroti fenomena ini dengan metode penelitian longitudinal. Ia mengamati perubahan fokus dan fleksibilitas kebijakan publik pemerintah Belanda dari tahun 1940 hingga 2000.
Periodisasi yang kemudian disebutnya dengan istilah generasi kebijakan ini dibaginya ke dalam lima periode. Dengan pisau analisis teori ekonomi tentang kelangkaan dan perpaduan teori sosiologi mahzab fungsional-struktural serta teori kebudayaan, penelitian ini menghasilkan salah satu temuan pentingnya yakni isu yang diabaikan dalam kebijakan periode sebelumnya, bisa jadi isu yang krusial untuk mendukung kesuksesan kebijakan berikutnya.
Dari penelitian longitudinal itulah kemudian Vries menghasilkan salah satu tesis bahwa perubahan yang terjadi dalam setiap periodisasi itu mengikuti masalah-masalah yang terjadi pada setiap konteksnya. Seperti halnya dinyatakan teori kebijakan publik klasik bahwa kebijakan diciptakan mengikuti masalah pada konteksnya masing-masing. Buku ini tidak sekadar menjabarkan pencapaian dan bagaimana kebijakan itu dicetuskan di Belanda, namun juga proses perubahan yang terjadi. Vries menyatakan bahwa arus utama kebijakan dalam setiap periode telah berhasil mencapai tujuannya. Akan tetapi, setiap periodisasi membuahkan kritik tentang hal-hal yang diabaikan dalam isu kebijakan dan reaksi dari kelompok-kelompok yang belum terakomodasi aspirasinya. Vries berpendapat, kritik akan isu-isu yang diabaikan dalam kebijakan ini bukanlah suatu simtom kegagalan, melainkan konsekuensi dari suksesnya suatu kebijakan.
Buku yang diterbitkan pada 2010 ini dibagi dalam enam bagian. Bagian pertama, Vries menjabarkan penyebab perubahan kebijakan dan bagaimana memprediksi perubahan arah kebijakan. Beberapa ilmuwan sosial berpendapat bahwa perubahan kebijakan merupakan sesuatu hal yang tidak mungkin untuk dilakukan. Peran ilmu sosial saat ini masih pada tataran penyedia instrumen kebijakan dan menjelaskan apa yang sudah terjadi. Namun, Vries menolak anggapan tersebut. Vries berargumen bahwa ilmu sosial memang sangat dinamis, begitu pula kebijakan, sehingga sulit untuk diprediksi arah perubahan dan resiko yang mungkin muncul di periode selanjutnya. Kedinamisan ilmu sosial bukanlah penghalang bagi prediksi perubahan dan resiko.
Dengan indikator dan parameter yang jelas dan terukur, kebijakan akan dapat diramalkan dengan baik. Dalam rangka menjelaskan dan mempredikasi perubahan kebijakan, seorang analis tidak hanya harus menginvestigasi namun juga mencari isu apa saja yang diabaikan pada suatu periode. Dalam pembuatan kebijakan terkadang pemerintah mengabaikan satu isu yang mungkin akan muncul dan mendominasi di masa berikutnya. Pernyataan tersebut ini terbukti pada sebuah penelitian longitudinal yang dilakukan Zvi Nammenwirth, seperti yang dicontohkan Vries. Nammenwirth menganalisis perubahan kebijakan yang terjadi sepanjang 1815 hingga 1980. Dengan metodologi content analysis pada setiap pidato kepresidenan Amerika Serikat (AS), Nammenwirth mencatat kata-kata dan konsep yang ditekankan pada setiap pidato.
Di akhir analisis Nammenwirth, ia menyodorkan konklusi bahwa kebijakan bukanlah suatu yang sangat tergantung pada kejadian-kejadian krusial yang tiba-tiba terjadi pada suatu masa- yang tidak mungkin diprediksi- dan hanya bisa dijabarkan setelah efek kebijakan terjadi. Namun arah kebijakan setiap waktu dapat diprediksi jauh-jauh hari sebelum itu terjadi dengan hanya dari melihat aspek yang diprioritaskan dan aspek yang diabaikan. Prediksi Nammenwirth sempat tidak dipercaya oleh beberapa analis kebijakan publik. Namun, prediksinya terbukti benar justru saat ia sudah meninggal, salah satunya tentang bom demokratisasi jilid ketiga di Amerika -yang lebih mirip imperialisme pada negara lain- pada 1980. Agaknya hal tersebutlah yang kian menarik perhatian Vries dalam melakukan penelitian longitudinal tentang perubahan kebijakan dengan lokus yang berbeda. Lebih lanjut, Vries menjabarkan teori-teori formal perubahan kebijakan dan peran krusial isu yang diabaikan pada periode sebelumnya pada bagian kedua.
Salah satu teori formal yang diungkapkan Vries yakni tentang kemunculan kebijakan. Kebijakan muncul dari isu-isu dan tuntutan yang muncul dari masyarakat. Dalam tahapan pembuatan kebijakan, tidak semua tuntutan dapat diwujudkan bersamaan. Terdapat beberapa aspek yang harus ditekankan terlebih dahulu dan ada yang ditunda untuk diwujudkan. Penundaan inilah yang yang dalam bahasa Vries menjadi diabaikan sementara.
Pada bagian ketiga, penjabaran perubahan kebijakan di Belanda pada kelima periode sepanjang 1940-2000 dirunutkan oleh Vries. Pertama-tama, Vries mengidentifikasi periode yang menekankan pengabaian-pengabaian yang sama pada periode sebelumnya. Vries menemukan adanya empat aspek penekanan dan pengabaian dalam setiap periodenya yakni apa yang disebutnya dengan korporatisme partai politik, kesejahteraan, demokrasi dan efisiensi. Keempat aspek tersebut mengalami fluktuasi perhatian pembuat kebijakan pada setiap periodenya. Fluktuasi tersebut, dalam analisis Vries disebabkan oleh tiga faktor yakni dinamika tujuan kebijakan, perubahan penggunaaan instrumen kebijakan dan perubahan peran kelompok aktor yang berbeda dalam proses kebijakan. Meskipun ada isu yang diabaikan dalam setiap periodenya, Vries menilai fokus pada setiap periode membawa hasil dari tujuan yang ingin dicapai.
Dinamika instrumen kebijakan yang berbeda dijabarkan Vries pada bagian keempat. Instrumen kebijakan ini antara lain pengadilan, ekonomi, organisasi dan komunikasi. Tipologi instrumen kebijakan tersebut dijelaskan lebih lanjut oleh Vries, antara lain: Pertama, Instrumen hukum, yang terdiri dari Undang-Undang (UU), peraturan, instruksi, resolusi, yurisprudensi, ordonansi, dan peraturan formal lainnya. Instrumen ini merupakan instrumen yang paling memiliki keuatan dibanding instrumen lain, karena ia memiliki wewenang untuk mengatur, menyeragamkan dan memberikan sanksi sebagai onsekuensi bila melanggar. Kedua, Instrumen ekonomi, termasuk subsidi, hadiah, pajak dan retribusi. Instrumen ini menghasilkan perilaku yang lebih menarik secara finansial. Ketiga, Instrumen komunikasi, nasehat, konseling dan transfer informasi, untuk mengubah perilaku warga negara. Keempat, instrumen organisasi seperti restrukturisasi dan manajemen. Vries menunjukan bahwa penggunaaan setiap keempat instrumen kebijakan yang telah disebutkan diatas mengubah secara periodik dan bersamaan dengan perubahan yang berbeda pada bagian sebelumnya. Pada dekade terakhir, keempatnya menggantikan secara dominan sebagai alat independen untuk menganalisis pembangunan masyarakat.
Partisipasi publik jelas krusial akan dikenakan pada instrumen sebagaimana dijelaskan pada bagian empat. Pada bagian kelima, Vries menjabarkan peran aktor masyarakat dalam pembuatan kebijakan secara periodik dan bersamaan. Bagian ini pertama kali membedakan empat tipe aktor masyarakat interaktif berdasar dua dimensi yakni dimensi yang cenderung konvergen dan antagonis terhadap pembuat kebijakan. Basis-basis dimensi keempat tipe aktor masyarakat itu antara lain masyarakat sebagai kelompok target, kelompok kepentingan, sebagai klien dan sebagai rekan. Vries mengungkapkan bahwa empat peran ini menjadi dominan dalam tindakan sukses antara tahun 1945 dan 2000. Tipe aktor ini kemudian berpengaruh pada pencapaian elit dalam keberhasilannya membangun hubungan dengan masyarakat.
Dalam analisis longitudinal yang lebih umum, dominasi tipe aktor berpengaruh di Eropa. Analisis dimulai sejak awal 1950 an ketika pembuat kebijakan merasa ada gap antara perilaku yang diharapkan dan konflik kepentingan yang senyatanya terjadi pada masyarakat. Pembuat kebijakan berpandangan bahwa masyarakat pada intinya merupakan sesuatu yang harus dikendalikan. Perubahan tipe aktor ini mulai nampak pada 1980. Pada saat itu masyarakat seperti klien dan pemerintah seperi penyedia layanan. Pada awal 1990, pemerintah menganggap kelompok masyarakat sebagai partner. Maka kemudian ditemukan penggunaan yang meningkat akan negosiasi yang lebih sering mengenai kontrak sosial tentang UU dan regulasi, serta pencarian win-win solution.
Jika pada bagian-bagian sebelumnya telah terungkap latar belakang, teori perubahan kebijakan dan analisis temuan Vries tentang perubahan kebijakan pada lokus Belanda, pada bagian terakhir ini, Vries membandingkan antara pijakan teori dan temuannya. Ia menunjukan suatu model dengan spesifikasi pertimbangan kepentingan aktor dalam memahami perubahan kebijakan yang fundamental. Berikutnya, ia mengusulkan model ini untuk pembangunan di Eropa, dan Belanda setelah tahun 2000. Pemerintah baik menurut Vries merupakan yang bersungguh-sungguh untuk tidak menangani beberapa masalah bersamaan dalam sekali. Terdapat beberapa dilema dalam memprioritaskan fokus kebijakan antara lain; dilema antara pengutamaan demokrasi, proses kebijakan dan efisiensi, juga dilema antara peraihan tujuan jangka pendek dan kefektifan jangka panjang, serta dilema diantara menekankan efisiensi dan responsif terhadap pelbagai kepentingan. Menanggapi dilema ini, Vries tetap merekomendasikan pembuat kebijakan utnuk tetap fokus namun fleksibel dalam perubahan kebijakan.
Secara umum, buku ini sangat detail menjabarkan analisis Vries tentang perubahan yang terjadi dalam konteks Belanda. Namun, apa yang dijabarkan Vries mengenai aspek penekakan dan pengabaian kebijakan tentu tidak akan sama dalam konteks negara lainnya. Sangat disayangkan, pada bagian terkahir buku ini, Vries belum menjelaskan secara detail mengenai mekanisme fokus dan fleksibilitas dalam pembuatan kebijakan. Terlepas dari beberapa kekurangannya, buku ini memunculkan pisau analisis baru terhadap perubahan kebijakan. Buku ini juga memberi pemahaman baru mengenai tahapan dan metodologi analisis perubahan kebijakan yang menyeluruh.
0 komentar:
Posting Komentar