Kartini bukan Feminis
Posted by Unknown
Traveller, Updated at: 19.34
Posted by Unknown on Minggu, 06 Maret 2011
Alasanku menulis catatan ini tak lain hanyalah manifestasi sebuah memoar tentang masa kecil. Bongkar-bongkar meja dan menemukan foto seorang gadis kecil berkebaya dan keberatan sanggul. Gadis kecil itu aku. Dengan balutan jarik yang sedemikian menjerat kedua kaki dan dan ikatan stagen yang membuat perutnya sesak, gadis itu sama sekali tak tampak menderita dalam foto itu. Meski bayangan sederhana yang muncul pertama kali di kepala gadis itu adalah: menjadi perempuan jawa itu ribet. Namun ia bangga mengenakan busana yang amat jarang dikenakannya itu. Ia membayangkan bahwa ia akan nampak anggun, tangguh dan mandiri dengan baju kebaya itu, seperti ibunya ketika menghadiri acara-acara resmi dengan kebaya.
21 April 1993, gadis itu berdebar-debar menantikan tanggal itu. Akhirnya, hari itu semakin dekat. Malam sebelum hari itu jatuh, gadis itu tak dapat memejamkan matanya. Seperti halnya ketika menjelang idul fitri. Kini aku merasa "Ih, dulu tu ga penting banget deh,". Esoknya, sang ibu mendandaninya hingga berjam-jam. Si gadis harus bangun pagi. Ia yang biasanya susah dibangunkan, pada hari itu ia terjaga hingga pagi.
Begitu ia selesai didandani, betapa terkejutnya begitu ia sampai di sekolah kanak-kanaknya. Tak satupun dari teman-teman perempuannya yang mengenakan kebaya. Pada umumnya, mereka mengenakan baju polisi, dokter, perawat, atau setelan blazer dengan tentengan tas kantor. Seluruh kelas pun memandangi gadis itu. Sang gadis tetap tak canggung, bahkan kebanggaannya tak berkurang. Ia pun bertanya pada sang guru.
"Bu, mengapa kok teman-teman tak ad ayang memakai kebaya?"
"Karena, perempuan kini boleh bekerja seperti laki-laki. Boleh jadi dokter atau polisi. Semua yang diberikan dan dikerjakan anak laki-laki, perempuan harus memperolehnya juga. hari ini, kita memmeringati hari dimana R A Kartini memperjuangkan kesamaan perempuan dan laki2," jawab si guru.
Si gadis tak puas dengan jawaban bu guru. Namun, ia menelan mentah-mentah penjelasan si guru. Sejak hari itu, ia meyakini bahwa perempuan tak boleh kalah dengan lelaki. Pun hingga tahun-tahun berikutnya, gadis itu selalu mendengar di kelas hingga televisi bahwa hari kartini erat dengan emansipasi dan kesetaraan. Toh ibunya berhasil sendirian membesarkan si gadis dan kedua kakaknya tanpa mengeluh apalagi bergantung pada makhluk yang bernama le.. la.. ki. Gadis itu kagum pada ibunya dan seluruh perempuan2 mandiri sampai kapanpun.
Hingga di suatu titik, delapan belas tahun, ia mengenal islam dan menyadari banyak yang bertentangan dengan prinsip emansipasi dan kesetaraan dalam islam. Tak puas dengan pertentangan tersebut, ia pun mencari banyak tafsir dan tak mudah percaya pada pengajian yang minim diskusi itu, ustad selalu benar. Menyebalkan. Ia pun sedikit menjaga jarak dengan islam. Hingga akhirnya ia menemukan kata-kata seorang Quraish Shihab bahwa satu ayat firman Alloh dalam Al Quran itu bak kristal permata, memiliki banyak sisi tafsir namun setiap sisi memancarkan keindahannya. Perlahan, ia menelusuri tafsir tentang gender dalam Al Quran. Ternyata, tafsiran ayat Tuhan pun bisa politis. Mengerikan!
Kini, si gadis berusia 23 tahun, ia hanya tersenyum kecil mengingat perjalanan pembagian peran gender yang berawal dari kejadian belasan tahun silam itu. Meski hingga kini si gadis masih dalam proses pencarian tafsir kontekstual alias bukan dari pemahaman transnasional, si gadis meyakini bahwa tak ada yang salah dengan peran apapun yang dimainkan perempuan.
Beberapa bulan yang lalu, gadis itu tak sengaja menemukan literatur tentang Kartini di perpustakaan yang didirikan penjajah nenek moyangnya dulu. Ia membaca petikan-petikan surat kartini kepada sahabatnya di Belanda. Ia menyadari sekaligus mengetahui bahwa perjuangan Kartini pun bermuara pada nilai-nilai agama yang bertentangan dengan feminisme. Sebagaimana selama ini dikenalnya dalam beberapa buku-buku tentang kartini, perempuan bangsawan itu digolongkan sebagai seorang feminis. Dalam hal ini feminisme dimaknai bahwa perempuan berhak memperjuangkan hak asazinya bahwa harus setara dengan lelaki.
Si gadis kini pun meragukan bahwa benarkah 'Aku Mau ... Feminisme dan Nasionalisme. Surat-surat Kartini kepada Stella Zeehandelaar 1899-1903' benar-benar mencerminkan jiwa feminis dari seorang kartini? . Fakta dalam surat-surat itu meruntuhkan keyakinan si gadis sekaligus menyakinkannya bahwa: Isu pembagian peran dan hak-hak gender yang diperjuangkan Kartini pada akhirnya digunakan sebagai legitimasi atas pergerakan kaum feminis di Indonesia.
Simak kutipan berikut:
"Kami di sini memohon diusahakan pengajaran dan pendidikan anak-anak perempuan, bukan sekali-kali, karena kami menginginkan anak-anak perempuan itu menjadi saingan laki-laki dalam perjuangan hidupnya, tapi kami yakin akan pengaruhnya yang besar sekali bagi kaum wanita, agar wanita lebih cakap melakukan kewajibannya; menjadi ibu, pendidik manusia yang pertama-tama.
... Moga-moga kami mendapat rahmat, dapat bekerja membuat umat agama lain memandang agama Islam patut disukai. (Surat Kartini kepada Ny. Van Kol, 21 Juli 1902)"
Jelas gagasannya diatas bertentangan dengan gerakan feminis dimana perempuan yang menuntut untuk tak menjalankan hak-haknya sebagai ibu pun layak dibela. Kini, bukankah sudah sepatutnya kaum perempuan di Indonesia mendekonstruksi kembali makna perjuangan Kartini yang sebenarnya? Sebab, mendekonstruksi wacana sejarah tak akan membuat kita menderita lantaran tertinggal kereta modernisasi. Justru mungkin itu akan jadi refleksi yang menuntun bagi pemahaman untuk mengambil sikap lebih lanjut.
Jelang sebulan Katinian, pagi yang dingin di Bandung.
0 komentar:
Posting Komentar